Sepenggal sejarah di langit kraton Surakarta Hadiningrat kisaran tahun 1827. Suasana di kraton Surakarta makin memanas, Perang Jawa makin bergelora dan melebarkan pengaruh hingga tlatah kraton Surakarta.
Sinuhun Paku Buwono VI yang simpati dengan perjuangan Pangeran Diponegoro berpikir keras agar dapat membantu perjuangan sahid itu, tetapi beliau tidak mau dukungannya itu diketahui oleh pihak Belanda.
Untuk itu beliau merubah fungsi menara hilal di dataran tinggi Gunung Kendil(kawasan UNS saat ini) menjadi menara pengintai Beteng Vastenburg yang merupakan tangsi pasukan Kompeni Belanda. Sebagai kelengkapan juga dibentuklah satuan laskar telik sandi (pasukan pengintai) yang berjumlah tujuh orang. Sebagai senopati pasukan telik sandi itu adalah Taruna yang kemudian mendapat anugerah nama menjadi Ki Joyo Mustopo dan wakilnya adalah Suryo Padmo Negoro.
Laskar telik sandi tersebut merupakan prajurit berani mati yang diberi nama Laskar Balkiyo. Laskar telik sandi yang bermarkas di menara hilal Gunung Kendil, bertugas mengawasi kegiatan Belanda di Beteng Vastenburg secara jarak jauh dengan menggunakan teropong Van Bosch.
Hasil pengintaian itu kemudian dilaporkan ke markas penyusunan strategi perang pasukan Laskar Diponegoro di hutan Krendo Wahono. Karena di hutan itu sering diadakan pertemuan antara Sinuhun Paku Buwono VI yang menyamar menjadi Kiai Bangun Tapa dengan Pangeran Diponegoro atau utusannya seperti Senthot Prawirodirjo maupun Ali Basyah.
Sehingga tidak jarang Ki Joyo Mustopo harus hilir mudik dengan mengendarai kuda antara Gunung Kendil, hutan Krendo Wahono dan bahkan menempuh perjalanan ke Gua Selarong di Yogyakarta. Berkat jasa para telik sandi ini pihak Belanda sering mengalami kekalahan dalam berbagai pertempuran.
Menyadari akan hal itu, Belanda pun berusaha memperkuat pasukannya dengan mendatangkan prajurit baik dari negeri Belanda maupun merekrutnya dari penjuru nusantara. Penambahan laskar itu merupakan ancaman besar bagi perjuangan Pangeran Diponegoro. Maka tidak ada jalan lain bagi laskar pejuang itu selain merekrut para pemuda bergabung dengan laskar Pangeran Diponegoro untuk berjuang mengusir Kompeni Belanda.
Laskar telik sandi di Gunung Kendil pun tidak mau ketinggalan. Pada tanggal 23 September 1827; Ki Joyo Mustopo menggelar pendadaran pemuda di sekitar Gunung Kendil. Para pemuda itu digladhi untuk menjadi pasukan pengintai yang tangguh. Agar tidak menjadi pusat perhatian pihak Belanda, kegiatan itu dikemas dalam acara makan bersama (kembul bujana) dengan nasi kaul berupa nasi yang ditaruh pada sebuah encekan (anyaman dari bambu) sehingga nasi itu terkenal dengan sebutan sega encekan.
Di tengah-tengah berlangsungnya acara itu, datanglah kabar bahwa akan rawuh tamu besar dari Sanggrahan untuk turut bergabung. Sanggrahan adalah sebuah tempat persinggahan Sinuhun yang berada di tepi sungai Bengawan, tempat itu merupakan tempat plesiran Sinuhun dan sentana kraton Surakarta. Mendengar kabar menggembirakan itu; Ki Joyo Mustopo segera mapag (menyambut) sendiri tamu yang akan hadir itu. Dan benar, yang hadir adalah Kiai Bangun Tapa atau Sinuhun Paku Buwono VI yang merupakan Raja Surakarta Hadiningrat. Selanjutnya tempat bertemunya Ki Demang Joyo Mustopo dengan Kiai Bangun Tapa itu kini terkenal dengan sebutan kampung Mapagan.
Sukses sudah Ki Joyo Mustopo merekrut para pemuda di sekitar Gunung Kendil untuk menambah kekuatan laskar telik sandi Balkiyo. Atas keberhasilan itu, Sinuhun Paku Buwono VI pun merasa bangga. Dan pada kesempatan itu, Sinuhun Paku Buwono VI untuk mengelabuhi pihak Belanda mengukuhkan Ki Joyo Mustopo sebagai Demang di wilayah tepi Sungai Bengawan hingga menjorok ke wilayah Sana Sewu. Strategi itu dilakukan karena Belanda telah mengetahui bahwa wilayah di tepi sungai Bengawan itu merupakan wilayah persembunyian para telik sandi. Pihak Belanda menyebut wilayah itu lahan hutan atau land varest.
Bersamaan waktu, di sekitar tangsi Lemah Abang ada sebuah pabrik pengolahan keju bernama Victory milik seorang pengusaha Belanda bernama Tuan Victor J Pressen. Seorang tuan Belanda yang cukup peduli dengan kaum pribumi.
Lidah Jawa terlalu sulit menyebut land varest ataupun J Pressen yang akhirnya hanya tersebut sepenggal kata; Lanfres ataupun J-pres. Maka lambat laun seiring bergulirnya waktu, wilayah tepi sungai Bengawan itu terkenal dengan sebutan Jebres.
Wilayah Kademangan Jebres juga merupakan lumbung pangan (pedaringan) dan peternakan (banyak terdapat kandang sapi). Bahkan tempat yang awalnya berupa alas bebondotan (hutan belantara) itu lambat laun ramai dipadati penduduk.
Semangat juang, cinta tanah air dan keinginan untuk sejajar dengan bangsa lain nampaknya perlu digelorakan kembali, dimana kearifan lokal di Kelurahan Jebres tersebut diharapkan akan dapat mengingatkan lagi nilai-nilai luhur dalam menegakkan negara bangsa yang bernama Indonesai ini.